Harian Kompas edisi 4
Maret 2016 mewartakan rencana pemerintah meluncurkan program penyetaraan S-2.
Program ini untuk mengantar secepatnya 69.000 dosen yang masih bergelar
sarjana (S-1) karena pemerintah mempunyai target pada akhir 2017 semua dosen
sudah bergelar magister (S-2).
Target ini merupakan
sebuah revisi karena menurut UU Guru dan Dosen (UU Nomor 14 Tahun 2005),
mestinya semua dosen sudah berpendidikan S-2 pada akhir 2015. Namun, rencana
ini perlu dikritisi karena membawa banyak konsekuensi yang bermuara pada
rusaknya sendi-sendi penting penyelenggaraan pendidikan yang bermutu dan
bertanggung jawab di Indonesia.
UU Guru dan Dosen
tersebut ditetapkan pemerintah sebagai upaya untuk meningkatkan mutu
pendidikan, khususnya pendidikan tinggi (PT). Pemerintah memberi waktu selama
10 tahun supaya semua PT dapat memenuhi UU ini. Sayangnya, tidak ada langkah
konkret-sistemik yang dilakukan pemerintah selain menyediakan beasiswa. Tidak
mengherankan apabila akhirnya waktu 10 tahun tidak cukup. Karena seolah tidak
ada jalan keluar memenuhi ketentuan UU tersebut,pemerintah merencanakan
mengambil jalan pintas. Atas nama Kerangka Kualifikasi Nasional Indonesia
(KKNI), pemerintah akan memberi gelar magister massal kepada para sarjana ini
lewat program penyetaraan S-2.
Cara pemerintah
menyikapi persoalan kualitas pendidikan tinggi ini bak pepatah ”buruk muka
cermin dibelah”. Mengingat standar mutu minimal tak tercapai, maka standar
tersebut yang akan diubah meskipun secara tidak langsung. Memang standar
minimal berpendidikan S-2 tak akan diubah oleh pemerintah, tetapi makna S-2
yang akan diubah. Bila sebelumnya gelar magister hanya bisa diperoleh lewat
kegiatan belajar sekitar dua tahun dan disertai pembuatan tesis, hal itu
kemungkinan akan diubah cukup lewat pendidikan dan latihan singkat serta
ujian tertulis pilihan ganda.
Bila demikian yang
akan terjadi, pemerintah dapat dianggap mencemari gelar magister. Memang
belum ada standar khusus untuk memperoleh gelar magister, tetapi sudah
menjadi praktik umum di PT Indonesia bahwa gelar magister hanya dapat
diperoleh lewat pembuatan tesis yang harus dipertangungjawabkan di hadapan
dewan penguji. Saya yakin program penyetaraan S-2 menyingkirkan prasyarat
berat ini karena justru di situlah persoalan tidak mudahnya mendapat gelar
magister. Tanpa menyingkirkan pembuatan tesis, penyetaraan S-2 tak akan
mencapai target dalam waktu dua tahun.
Kebijakan menyesatkan
Selain persoalan
teknis di atas, masalah pokok lain bila rencana ini diwujudkan, seolah-olah
masalah kompetensi dan kualitas sudah diselesaikan dengan memberikan label
atau gelar. Kompetensi yang mestinya dibangun lewat proses dan kendali proses
yang baik dinafikan demi kepentingan pencapaian indikator kuantitatif yang
tidak berguna. Pemberian gelar tersebut sebenarnya tidak mengubah keadaan
apa-apa selain mengubah data.
Pengubahan ini menjadi
menyesatkan manakala data yang baru kemudian dipahami terlepas dari konteks
dan proses bagaimana data tersebut berubah. Bayangkan saja ketika dalam dua
tahun seolah-olah kita mendapat magister baru sebanyak 69.000, tetapi
sebenarnya tidak ada yang baru sama sekali.
Apabila program
penyetaraan S-2 sungguh digulirkan, akan muncul pesan kuat betapa pemerintah
sendiri sengaja merusak proses maha penting dan mendasar sebuah pendidikan
tinggi, yakni terjadinya latihan berkegiatan ilmiah (academics exercise).
Latihan inilah yang membentuk kompetensi akademik seseorang dan tidak mungkin
dipersingkat prosesnya menjadi sebuah pelatihan atau penataran singkat.
Kompetensi akademik ini secara esensial sangat berbeda dengan kompetensi
praktikal yang dimiliki seseorang. Kemampuan seseorang mengerjakan atau membuat
sesuatu tidak dapat disetarakan begitu saja dengan pencapaian kompetensi
akademik.
Latihan berkegiatan
akademik diarahkan untuk membentuk sikap dan kemampuan seseorang berkreasi
akademik. Hal itu berarti ia berlatih untuk menemukan masalah, merumuskan
metode pemecahan masalah, dan membuat rekomendasi penyelesaian masalah
setelah ia mencoba menyelesaikannya. Namun perlu diingat, masalah di sini
bukan sebarang masalah, apalagi masalah teknis seperti membuat ini atau
merakit itu. Masalah yang dirumuskan haruslah terkait dengan persoalan
pengembangan ilmu karena pembuatan tesis diarahkan untuk menambah pengetahuan
di bidang tertentu.
Program penyetaraan
S-2 tidak mungkin dapat menggantikan terjadinya academics exercise yang
memadai karena sifatnya yang ”kejar tayang”. Program penyetaraan S-2 hanya
memperkuat terjadinya pencitraan politis di bidang pendidikan lewat
pencapaian indikator persentase dosen PT bergelar magister.
Prinsip jalan pintas
Bila pemerintah terus
melakukan prinsip jalan pintas seperti ini, sebagaimana telah terjadi di
Pendidikan dan Latihan Profesi Guru, maka dunia pendidikan Indonesia akan
semakin terpuruk karena salah satu sumber rendahnya mutu pendidikan kita
adalah kuatnya formalisme dalam keseluruhan proses pendidikan. Kalau pemerintah
sendiri justru terpaksa memilih orientasi pada keluaran (output) formalitas
ketimbang mendorong terjadinya proses yang baik dan bertanggung jawab, lalu
siapa lagi yang dapat memperbaiki iklim pendidikan kita?
Sementara itu, kita
sudah seharusnya terus prihatin karena masih maraknya praktik kuliah
abal-abal, ijazah palsu, dan jasa pembuatan skripsi. Program penyetaraan S-2
akan dipahami masyarakat bahwa pemerintah sendiri mengamini mentalitas
sebagian masyarakat bahwa gelar akademik adalah perkara status, citra, atau
data statistik ketimbang kompetensi akademik. Dengan demikian, pemerintah
tidak harus risih, bahkan dalam taraf tertentu merestui praktik jual-beli
gelar dan ijazah palsu.
Seharusnya, ketika
target capaian tidak tercapai, pemerintah harus jujur untuk mengemukakan apa
yang menjadi sebab-musababnya. Ketika pemerintah jujur, khususnya terkait
dengan masalah pendidikan, masyarakat akan mudah menerima dan bahkan akan
membantu menangani persoalan tersebut. Akan tetapi, bila target capaian tersebut
dirumuskan semata demi pencitraan politik, pemerintah harus menerima realitas
politiknya dan harus terus belajar bahwa dunia pendidikan bukanlah dunia
industri atau bisnis yang mudah dikenai berbagai target capaian kuantitatif.
Oleh karena itu,
pemakaian konsep KKNI menjadi pembenar lahirnya program penyetaraan S-2
sejatinya terlalu dipaksakan. KKNI mestinya hanya berfungsi sebagai mekanisme
referensi untuk membuat kesetaraan pengakuan dan penghargaan antara
kompetensi akademik dan kompetensi praktikal, dan tidak lalu menjadi
kesetaraan gelar akademik.
Kalau sungguh mau
konsisten memakai KKNI, cukup dibuat mekanisme pengakuan terhadap kompetensi
praktikal para sarjana lulusan S-1 ini, kemudian dapat digunakan untuk
mendapatkan status pendidik (baca dosen)profesional. Dengan demikian, yang
perlu diubah cukup peraturan untuk memperoleh pengakuan pendidik profesional
yang saat ini mensyaratkan minimal berpendidikan S-2.
Memang masih ada
persoalan karena tertulis dalam UU Nomor 14 Tahun 2005 bahwa dosen harus
berpendidikan S-2. Namun, pemunduran waktu pencapaian amanat undang-undang
ini sampai dengan 2017 juga sudah merupakan pelanggaran. Oleh karena itu,
pertanyaan dasarnya, mengapa pemerintah tidak berani tegas menerapkan
undang-undang ini? Jangan-jangan angka 69.000 ini tersebar di ribuan PT
sehingga sangat mungkin dicari jalan penyelesaian yang bersifat lokal di
setiap PT dan tidak perlu penyelesaian seragam, sistemik, dan masif di
tingkat nasional yang justru berakibat fatal bagi keseluruhan iklim pendidikan
Indonesia.
Johanes Eka Priyatma ; Rektor
Unversitas Sanata Dharma Yogyakarta
KOMPAS, 18 Maret
2016
0 comments:
Posting Komentar