Pada
tahun ajaran 2014-2015, Kemendikbud bertekad bulat untuk menerapkan Kurikulum
2013 (K13) di semua sekolah di Tanah Air. Rencana ini memang tergolong nekat.
Di saat
guru-guru di pelosok Tanah Air banyak masih kebingungan dengan konsep baru
yang ditawarkan dalam K13, mereka tetap dipaksa menjalankannya.
K13 juga
masih meninggalkan beberapa permasalahan. Selain persiapan yang tidak matang
dan pelatihan guru yang masih sangat minim, kurikulum ini juga meninggalkan
permasalahan mengenai nasib guru-guru yang mata pelajarannya dihapus dalam
K13. Salah satunya adalah mata pelajaran Teknologi Informasi dan Komunikasi
(MP TIK).
MP TIK adalah
buah penerapan KTSP (Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan) yang digodok pada
2006, dan diterapkan pada 2007 untuk menggantikan KBK (Kurikulum Berbasis
Kompetensi). KBK hanya diterapkan kurang dari lima tahun. Ide penambahan MP TIK
dalam KTSP didasari pada semangat membekali para siswa untuk menghadapi era
perkembangan teknologi yang semakin canggih di abad XXI ini.
TIK
semakin penting peranannya karena setiap bangsa akan menjadi bagian dalam
perkembangan arus globalisasi yang menyaratkan penguasaan teknologi tingkat
tinggi ini di segala aspek kehidupan. Bangsa yang tidak mengenal dan
menguasai teknologi akan menjadi bangsa yang tertindas.
Untuk merealisasikan
proyek ini, Kemendikbud telah merekrut ribuan guru TIK yang ditempatkan di
seluruh Indonesia. Namun sayang, enam tahun kemudian, MP TIK dihapus seiring
bubarnya KTSP. Kini, nasib ribuan guru TIK masih belum jelas.
TIK dan Moral
MP TIK
sebenarnya bukan hanya mengajarkan masalah teknis mengenai bagaimana mengoperasikan
sebuah software dan hardware. Dan, menurut penulis, selama
ini muatan materi TIK dalam KTSP memang masih menitikberatkan pada substansi
ini.
TIK
perlu diarahkan ke tujuan yang lebih mendalam lagi. TIK dapat memberikan
pendidikan nilai mengenai bagaimana cara memanfaatkan teknologi untuk hal-hal
yang positif dan mendukung capaian prestasi akademik siswa, sehingga siswa
tidak selalu dan selamanya dicetak untuk menjadi seorang operator yang pasif.
Mereka juga harus mampu berinovasi dengan teknologi yang telah ada.
Sebagai
contoh kecil, siswa dapat mengembangkan kreativitasnya melalui pembuatan
blog pribadi yang dapat dilihat banyak orang. Dengan demikian, siswa akan terpacu
untuk berkreasi melalui tulisan atau gambar. Ini dapat menumbuhkan
kepercayaan diri kepada siswa. Mereka juga akan bangga ketika hasil karyanya
dapat dilihat dan dibaca orang lain di seluruh dunia. Dari sini kita akan
mendapatkan jutaan karya anak bangsa yang dapat diakses secara online.
Hal lain
yang tidak kalah penting adalah TIK membekali siswa dengan kemampuan
menggunakan atau memanfaatkan teknologi secara positif dan bertanggung
jawab. Ini adalah tantangan berat TIK. Maraknya peredaran video porno yang
diunggah beberapa pelajar adalah wujud kegagalan insitusi sekolah menanamkan
pendidikan nilai. Sekolah gagal menyinergikan muatan pendidikan nilai
berbasis teknologi.
Ketimpangan sosial
Ketika
TIK dihapus dari kurikulum sekolah menengah, isu lain yang terkait dengannya
adalah isu ketimpangan sosial dalam pembelajaran di sekolah. Ketiadaan
pelajaran ini telah meningkatkan eksklusivitas teknologi dalam masyarakat.
Bagi
siswa dari keluarga kelas atas, penghapusan TIK bukanlah masalah serius. Hal
ini disebabkan mereka masih memiliki kesempatan dan kemampuan untuk belajar
TIK di tempat lain. Atau, mereka juga dapat belajar di rumah karena orang tua
mereka mampu menyediakan berbagai fasilitas atau teknologi canggih yang
dapat mereka manfaatkan setiap saat. Melalui internet, mereka bisa
mempelajarinya dengan cepat dan mudah.
Sebaliknya,
bagi siswa dari keluarga tidak mampu atau keluarga miskin, ini adalah masalah
serius yang harus mereka hadapi. Bagi mereka, sekolah adalah satu-satunya
sarana untuk mengejar ketertinggalan budaya. Sekolah adalah satu-satunya
jalan untuk menyamakan kedudukannya dengan kedudukan orang-orang kaya. Dengan
kata lain, sekolah adalah satu-satunya ruang tempat mereka mempelajari
perkembangan teknologi yang serba canggih.
Bila
sekarang TIK dihapus dari sekolah, maka hilanglah kesempatan mereka untuk
mempelajari teknologi “secara
cuma-cuma”. Di mana lagi mereka harus mempelajari TIK? Di rumah, mustahil
mereka memiliki internet. Orang tua mereka sebagian besar gagap teknologi.
Jika harus mengikuti kursus, mereka harus mengeluarkan biaya yang tidak
sedikit. Untuk itu, kondisi ini menyebabkan mereka menjadi tidak nyaman dan
akan terus mengalami penindasan kelompok atas karena mereka tidak memiliki
akses untuk mengejar ketertinggalan mereka.
Ketika
anak-anak orang kaya sibuk meng-update
status dan mengirim foto di facebook, mereka heboh membicarakan gadget yang semakin canggih, dan mereka
gencar memublikasikan karyanya melalui blog pribadi, ketika itu pula,
anak-anak dari keluarga miskin hanya mampu menjadi penonton dan pendengar
yang baik. Tidak ada yang dapat mereka lakukan selain itu.
Facebook,
twitter, youtube, blog, dan media sosial lainnya adalah barang mahal bagi
mereka. Mereka tidak mampu membagi cerita hidupnya melalui dunia maya karena
mareka tidak memiliki kemampuan untuk melakukannya. Sementara, sekolah sudah
tidak bersahabat dengan mereka.
Singkatnya,
penghapusan TIK tidak hanya berdampak negatif bagi guru TIK. Siswa juga
merasakan dampak negatif, terutama bagi mereka yang berasal dari kelas bawah.
Mereka tidak tahu lagi di mana mereka akan belajar menguasai teknologi ketika
sekolah tidak memberikan ruang bagi mereka. Mereka juga tidak tahu, kapan
mereka akan menjadi penguasa teknologi.
Bukanlah
solusi yang bijak ketika materi TIK dilebur ke dalam materi pelajaran lainnya
karena ini tentu saja akan menambah beban pelajaran. Selain itu, guru juga
belum tentu memiliki kesiapan yang matang.
Pemerintah juga harus jujur mengakui bahwa masih banyak guru yang gagap
teknologi. Mereka masih menggunakan metode pembelajaran klasik yang
membosankan. Bagaimana pun juga, TIK harus dikembalikan di sekolah dalam K13.
Nanang Martono ;
Dosen Sosiologi Pendidikan
Universitas
Jenderal Soedirman Purwokerto
HALUAN,
06 Maret 2014
0 comments:
Posting Komentar